Di tengah rimbunnya hutan hujan tropis dan aliran sungai besar Kalimantan, mengalun lembut suara alat musik khas suku Dayak: Sape (di baca: sa-pe’). Lebih dari sekadar instrumen petik, Sape merupakan warisan budaya yang menyatu dengan ritus adat, spiritualitas, dan ekspresi jiwa masyarakat Dayak.
🎼 Apa Itu Sape?
Sape adalah alat musik tradisional berdawai yang berasal dari suku Dayak Kenyah dan Kayan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Nama “sape” dalam bahasa Dayak berarti “alat untuk memetik”, merujuk pada cara memainkannya yang mirip gitar atau kecapi.
Dulu, Sape hanya memiliki dua atau tiga senar dan di mainkan dalam ritual penyembuhan atau pengantar tidur. Kini, versi modern bisa memiliki 4 hingga 6 senar dan bahkan di lengkapi sistem pickup elektrik.
🪵 Bahan dan Cara Pembuatan
Sape tradisional terbuat dari:
-
Kayu ringan seperti kayu adau atau kayu meranti,
-
Di haluskan dan di bentuk menyerupai tubuh burung atau naga,
-
Di hias dengan ukiran khas Dayak yang melambangkan roh leluhur atau kekuatan alam.
Senarnya dulu di buat dari serat tumbuhan atau ekor binatang, tapi kini umumnya menggunakan nilon atau dawai gitar.
🎶 Karakter Suara dan Cara Main
Sape menghasilkan suara yang lembut, mengalun, dan menenangkan. Gaya permainannya sering menggunakan:
-
Petikan berulang (loop) sebagai melodi dasar,
-
Improvisasi lembut yang menciptakan suasana spiritual,
-
Tangga nada pentatonik khas musik Asia Tenggara.
Sape di mainkan secara solo atau berkelompok, sering di iringi tarian seperti Tari Hudoq atau Tari Kancet Ledo.
🌿 Peran dalam Budaya Dayak
Dalam tradisi Dayak, Sape bukan sekadar hiburan, tetapi:
-
Alat penghubung dengan roh leluhur,
-
Musik pengiring ritual penyembuhan, syukuran panen, atau upacara kematian,
-
Sarana refleksi dan meditasi, menyatu dengan alam.
Kini, Sape juga tampil dalam pertunjukan seni kontemporer dan festival budaya seperti Erau dan Isen Mulang.
🌍 Dari Hutan ke Dunia Internasional
Sape kini di kenal hingga mancanegara berkat musisi seperti:
-
Mathew Ngau Jau (Malaysia),
-
Johan Yaman dan Agung Pranoto (Indonesia),
-
dan banyak generasi muda Dayak yang membawakan musik Sape dalam versi etnik hingga jazz dan elektronik.
✅ Pelestarian dan Tantangan
Meski populer, Sape menghadapi tantangan:
-
Minimnya regenerasi pembuat Sape asli,
-
Ancaman hilangnya hutan adat sebagai sumber kayu dan inspirasi,
-
Kurangnya ruang edukasi dan festival lokal.
Namun berbagai komunitas, sanggar budaya, hingga sekolah kini mulai mengajarkan Sape kepada generasi muda, bahkan memasukkan alat ini ke dalam kurikulum seni daerah.
Sape Dayak Kalimantan adalah bukti bahwa suara bisa menyampaikan warisan, doa, dan harmoni. Suaranya membawa kita ke dalam semesta budaya Dayak yang kaya akan spiritualitas dan cinta alam. Di era modern, menjaga bunyi Sape tetap hidup bukan sekadar pelestarian alat musik—tapi menjaga identitas dan jiwa Borneo itu sendiri.