Di Manokwari dan wilayah Papua lainnya, burung Cenderawasih bukan cuma ikon alam dan budaya, tapi juga menjadi inspirasi karya kriya lokal. Berikut kisah, makna, dan regulasi di balik cenderamata ini:
🌿 1. Larangan Puluhan Tahun: Lindungi Spesies Endemik
Burung Cenderawasih adalah satwa di lindungi oleh UU No. 5/1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7/1999 karena populasinya yang rentan punah
Sejak surat edaran Gubernur Papua 2017, penggunaan bulu asli maupun tubuh burung sebagai cenderamata, souvenir, atau mahkota non-ritual adat telah di larang
Masyarakat di ajak beralih ke replika dan miniatur imitasi sebagai ganti bentuk pelestarian budaya tanpa merusak satwa .
🎨 2. Kreasi Lokal: Miniatur & Topi Tradisional
Artis dan pelaku kriya di Manokwari menciptakan berbagai miniatur burung Cenderawasih dari bahan ramah lingkungan seperti kayu, serat alam, dan bahan daur ulang, lengkap dengan bulu imitasi warna-warni
Contoh lain adalah replika topi kebesaran berbentuk mahkota burung, karya warga Nembukteb, Fakfak, yang menjaga nilai budaya tanpa memanfaatkan burung asli
🎭 3. Filosofi & Makna Budaya
“Cenderawasih” berasal dari bahasa Sanskerta: cendera (dewa/dewi) dan wasih (utusan), sehingga sering di sebut burung dari surga
Dalam adat Papua, bulunya di gunakan hanya pada acara sakral – sebagai mahkota bagi ondoafi atau tokoh adat – bukan sebagai souvenir biasa
🌱 4. Konservasi dan Regulasi Seni
Pemerintah daerah Papua dan Papua Barat aktif mendorong ekonomi kreatif berbasis imitasi Cenderawasih, termasuk pelatihan dan lomba produk seni
Dukungan ini penting untuk mengurangi perburuan dan pemanfaatan liar, serta mendorong nilai budaya yang berkelanjutan
-
Cenderamata Cenderawasih di Manokwari kini di dominasi oleh barang imitasi: miniatur, topi kebesaran, dan hiasan bulu buatan—semuanya legal, estetis, dan ramah lingkungan.
-
Langkah pelarangan rigor dari pemerintah telah membantu melindungi burung endemik ini.
-
Kreativitas lokal memungkinkan pelestarian budaya tanpa mengancam habitat atau populasi Cenderawasih.