Tenun Gringsing adalah kain tradisional unik dari Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali—salah satu warisan budaya tak benda Indonesia. Teknik pembuatannya sangat istimewa, hanya di temukan di tiga tempat dunia (India, Jepang, dan Bali).
🌌 Asal-usul dan Filosofi
-
Nama “gringsing” mengandung makna “tidak sakit” (gring = sakit, sing = tidak), di percaya memiliki fungsi penolak bala dan pelindung jasmani-rohani.
-
Menurut mitos, Dewa Indra yang terpesona dengan keindahan langit malam mengajarkan teknik tenun ini kepada warga Tenganan.
🧵 Teknik Tenun Ikat Ganda
-
Khas dengan teknik ikat ganda (double ikat), yang sangat kompleks: benang pakan & lungsi di ikat sesuai pola sebelum di celup dan di tenun.
-
Proses dapat memakan waktu 2 bulan untuk satu lembar, sedangkan motif paling rumit bisa mencapai 2–5 tahun pengerjaan.
🎨 Pewarnaan Alami & Makna Tridatu
-
Mewarnai benang memerlukan pewarna alami: akar mengkudu (merah/api), minyak kemiri (kuning/angin), pohon taum (hitam/air).
-
Warna Tridatu ini juga melambangkan Trimurti—Brahma, Wisnu, dan Siwa, merefleksikan keselarasan manusia‑alam‑Tuhan.
🕉️ Motif Sakral & Ritual
-
Terdapat beragam motif penuh simbolisme:
-
Lubeng (kalajengking),
-
Sanan Empeg (kotak poleng merah-hitam),
-
Cecempakaan, Cemplong, hingga motif wayang
-
-
Di pakai dalam upacara adat, pernikahan, kikir gigi, dan ritual penyucian sebagai kain sakral dan pelindung.
💰 Ekonomi Kreatif & Eksklusivitas
-
Tenun Gringsing masuk ke pasar ekonomi kreatif, bahkan di pilih sebagai oleh-oleh KTT G20 2022 di Bali.
-
Sejak 2018, di peroleh Indikasi Geografis (IG) oleh Kemenkumham, termasuk 27 motif terdaftar.
-
Harga satu kain mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah—di pengaruhi motif, ukuran, dan waktu pengerjaan.
🏆 Pelestarian & Tantangan
-
Regenerasi penenun makin menipis; perlu dukungan pelatihan dan apresiasi untuk penerus kerajinan.
-
Tenun Gringsing mendapat perhatian UNESCO & Kemenparekraf sebagai warisan budaya tak benda, membantu memperkuat ekonomi desa dan menjaga tradisi.