Dari tanah Sulawesi Utara yang kaya budaya, kolintang hadir sebagai salah satu warisan musik tradisional yang menggema lintas generasi. Instrumen khas Minahasa ini tidak hanya memukau dengan keindahan suaranya yang nyaring dan jernih, tetapi juga menyimpan nilai historis, spiritual, dan sosial yang dalam bagi masyarakat setempat.
Kolintang—atau kadang di sebut kulintang dalam versi lain di Indonesia Timur—merupakan alat musik perkusi melodis yang terbuat dari bilah-bilah kayu ringan, seperti kayu wenang, cempaka, atau kayu waru, yang di susun berderet dan di mainkan dengan cara dipukul menggunakan stik.
Asal-Usul dan Nilai Budaya
Dalam tradisi Minahasa, kolintang sudah di mainkan sejak zaman dahulu kala, bahkan di percaya di gunakan dalam upacara adat untuk memanggil roh leluhur, sebagai bentuk penghormatan atau bagian dari ritual pengobatan. Seiring perkembangan zaman, kolintang kemudian berkembang menjadi bagian penting dalam:
-
Pertunjukan seni budaya lokal
-
Iringan lagu daerah dan rohani
-
Acara kenegaraan dan penyambutan tamu kehormatan
-
Pendidikan musik tradisional di sekolah-sekolah Sulawesi Utara
Nama “kolintang” sendiri berasal dari bunyi “tong-tang-ting” yang di hasilkan saat alat di pukul. Sehingga secara harfiah, kolintang adalah imitasi bunyi yang menjadi identitas unik alat musik ini.
Struktur dan Cara Memainkan
Satu set kolintang terdiri dari beberapa instrumen yang memiliki fungsi berbeda, mirip dengan orkestra mini:
-
Melodi (Melody): memainkan nada utama lagu
-
Pengiring (Alto dan Tenor): memberikan harmoni dan ritme
-
Bass: memainkan nada dasar untuk memperkuat komposisi
-
Cello: sebagai pengisi harmoni menengah
Kolintang bisa di mainkan secara solo maupun kelompok, dan biasa membawakan lagu-lagu tradisional, nasional, bahkan aransemen lagu modern seperti pop dan jazz.
Kebanggaan yang Mendunia
Kolintang Minahasa kini tidak hanya di kenal di wilayah Sulawesi Utara, tetapi juga telah go international. Berbagai grup musik kolintang telah tampil di luar negeri, seperti di Belanda, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat, sebagai duta seni dan budaya Indonesia.
Pada tahun 2023, kolintang di ajukan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) UNESCO, yang menandai semakin meningkatnya pengakuan terhadap nilai seni dan sejarahnya.
“Kolintang bukan hanya alat musik, tapi juga simbol semangat gotong royong, keharmonisan, dan kecintaan pada warisan leluhur,” ujar Maria Wewengkang, seniman kolintang senior di Manado.
Pelestarian di Era Modern
Meski telah mendunia, tantangan pelestarian kolintang tetap ada. Masuknya budaya populer, kurangnya regenerasi pemain, dan minimnya perhatian terhadap pendidikan musik tradisional membuat sebagian generasi muda kurang mengenalnya.
Namun, berbagai upaya terus di lakukan oleh komunitas seniman, sekolah, dan pemerintah daerah, seperti:
-
Festival Kolintang Nasional dan Internasional
-
Pelatihan dan kursus kolintang di sanggar seni
-
Integrasi kolintang dalam kurikulum lokal
-
Digitalisasi pertunjukan dan promosi di media sosial