Tenun Donggala – Kain Tradisional Khas Sulawesi Tengah

Tenun Donggala – Kain Tradisional Khas Sulawesi Tengah

Asal-usul & Filosofi Budaya

Tenun Donggala berasal dari Kabupaten Donggala, tumbuh dalam tradisi masyarakat Kaili dan Bugis di pesisir Palu secara turun-temurun. Dahulu di gunakan sebagai sarung ritual adat dan di kenakan dalam upacara keagamaan atau sosial. Kini fungsinya meluas sebagai busana formal dan simbol status sosial

Teknik & Motif

  • Di buat manual dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), biasanya lebar hanya 60 cm; sering di satukan dua helai untuk membentuk sarung

  • Corak dominan bunga—mawar, anyelir, bunga subi, bomba—menggunakan teknik ikat benang: ikat-pakan, celup, dan songket (sungkit)

  • Terdapat variasi: buya bomba (motif bunga), buya subi (teknik songket), dan buya awi (polos). Terdapat pula kombinasi teknik dan motif kotak-kotak

Proses Pembuatan

Di mulai dari pemintalan benang, penentuan pola, pewarnaan tradisional (dulu menggunakan daun bomba, kini juga rafia), hingga tenun di ATBM. Pembuatan satu sarung bisa memakan 1–3 bulan, bergantung motif

Warisan & Regenerasi

  • Tenun Donggala telah di akui sebagai Indikasi Geografis oleh Sulteng dan di promosikan di pameran global WIPO Jenewa

  • Pemerintah melalui sekolah kejuruan (SMKN 1 Donggala) memasukkan tenun sebagai muatan lokal untuk regenerasi pengrajin

  • Festival Tenun Donggala rutin di gelar di Desa Towale untuk pelestarian dan pengajuan pencatatan UNESCO

Ekonomi & Pemberdayaan

  • Galeri tenun di Towale meningkatkan pendapatan pengrajin: di masa lalu upahnya sekitar Rp150 ribu, kini meningkat hingga Rp500 ribu per sarung, dengan waktu produksi lebih cepat

  • Pewarnaan alami di kembangkan lewat kemitraan kampus (UM Palu) menyediakan teknik aman lingkungan dan kesehatan

Inovasi & Mode

  • Desainer lokal seperti FFFbyFerry mengangkat motif bunga bomba di ajang fashion Asia, mengedepankan konsep zero-waste dan sustainable fashion

  • Kain ini juga muncul dalam bentuk jas atau kostum tarian “Nosoda Riwinga” sejak 1970-an, di pelopori Ince Mawar Abdullah

Tenun Donggala lebih dari sekadar kain: ia adalah warisan budaya bernilai, dari simbol sosial hingga identitas regional. Dengan pengakuan global, pembinaan generasi muda, inovasi pewarna alami, dan terobosan di dunia fashion, tenun ini terus hidup dan memberi harapan ekonomi bagi komunitas.