Wajik Kletik Kudus: Manisan Beras Ketan yang Melekat di Lidah dan Ingatan

Wajik Kletik Kudus

Jika menyebut nama “Kudus”, yang langsung terlintas biasanya adalah Menara Kudus, jenang, atau kretek. Namun, di balik hiruk pikuk kota kecil yang sarat sejarah ini, tersimpan pula kekayaan kuliner yang tak kalah menarik—salah satunya adalah Wajik Kletik, manisan tradisional berbahan dasar beras ketan yang manis legit dan beraroma khas.

Apa Itu Wajik Kletik?

Wajik Kletik adalah salah satu camilan khas dari Kudus, Jawa Tengah, yang terbuat dari beras ketan, gula kelapa, dan santan. Yang membuatnya berbeda dari wajik pada umumnya adalah teksturnya yang lebih kering dan kenyal, dengan permukaan sedikit mengkilap dan lapisan luar yang cenderung keras atau “kletik”—inilah asal usul namanya.

Saat di gigit, sensasi awalnya adalah renyah kering di luar, namun begitu masuk ke mulut, manisan ini perlahan melembut dan melekat di lidah. Kombinasi rasa manis yang tidak berlebihan dengan aroma legit dari gula kelapa menjadikan camilan ini begitu khas dan susah dilupakan.

Proses Pembuatan yang Masih Tradisional

Meski terlihat sederhana, proses pembuatan Wajik Kletik cukup rumit dan memerlukan ketelatenan. Beras ketan harus di rendam semalaman, kemudian di kukus hingga matang. Setelah itu, beras ketan di masak kembali bersama larutan gula kelapa dan santan hingga menyatu dan berubah warna menjadi coklat keemasan.

Adonan kemudian di bentuk dan di keringkan perlahan selama beberapa jam, bahkan hingga berhari-hari, agar bagian luar mengeras namun tetap menyisakan kelembutan di dalam. Inilah yang menjadikan Wajik Kletik tidak mudah basi dan bisa bertahan lama, cocok di jadikan oleh-oleh.

Cita Rasa dan Filosofi yang Melekat

Wajik dalam budaya Jawa sering di ibaratkan sebagai simbol “keketatan” atau keterikatan yang manis. Tak heran, kudapan ini sering di suguhkan dalam acara pernikahan, syukuran, atau peringatan hari-hari besar sebagai harapan agar hubungan yang terjalin antar manusia bisa langgeng dan harmonis.

Wajik Kletik membawa filosofi serupa, namun dalam bentuk yang lebih tahan lama—ibarat hubungan yang kuat di luar namun tetap lembut di dalam.